Kamis, 22 Desember 2011

A Dream

picture: http://vi.sualize.us/view/b13fbcf07509b8f99b16a691867de526/

I keep thinking about the dream I had last night (or this morning to be precise). Suddenly I was somewhere in Japan, watching three old lady working, and one of them offered me sweet mochis. When I want to take it to bring it home, I saw the sky glowing red, and saw the most spectacular sight in my whole life: a row of planets. Literally. Then I scram looking for my camera. But by the time I get to some clearing, the sight already gone. Instead, there were a few kids playing. Can't remember what they playing. Abruptly they approach me and my friend (I don't know how they got there with me). And one of the boy said to his friend, "Take my picture with her," while pointing at me. And I thought he was the cutest boy ever. Then I woke up, and it's already 05.45 in the morning.

Hahaha... weird dream, eh? But somehow I feel it's kinda sweet... with a touch of karma, I believe.

Rabu, 30 November 2011

Saba Budaya Baduy 2011 Bagian 1

Perjalanan ke Desa Kanekes ini sepertinya adalah perjalanan yang paling berkesan tahun ini. Setelah berkali-kali berencana, baru akhirnya terwujud pada pertengahan november kemarin. Berbekal informasi dari www.wiserearth.org saya dan teman-teman ikut serta dalam acara Saba Budaya Baduy yang diselenggarakan oleh Sahabat Baduy. Sebenarnya sedikit salah paham, saya kira ini acara seba (silaturahmi Baduy menemui pemimpin pemerintahan)

Kumpul di St. Tanah Abang menunggu kereta jurusan Rangkasbitung yang berangkat jam 8 pagi. Bertemu teman seperjalanan ke Tidung. Menurut panitia ada beberapa orang lagi yang akan menyusul nantinya. Berhubung kereta sudah hendak berangkat, maka kami berangkat lebih dulu. Sampai di Rangkas sekitar jam setengah sebelas siang. Begitu keluar stasiun langsung diserbu orang-orang yang menawarkan Aweh ataupun Mandala (kalo ga salah inget). Setelah bertanya barulah diketahui kalo yang ditawarkan itu adalah nama-nama terminal di Rangkasbitung. Untuk ke Kanekes rombongan mengambil rute lewat Aweh dilanjut ke Ciboleger, karena kita akan masuk via Kampung Kaduketug.

Sebelum ke Ciboleger sempet mampir di Barata buat beli perbekalan. Barata ini adalah pusat perbelanjaan terbesar di Rangkas (lagi-lagi kalo ga salah denger). Berhubung kita udah ga sabar, maka kami empat sekawan memutuskan untuk langsung menuju ke terminal Aweh. Di sana masih harus menunggu minibus (ga tau harus nyebut apa itu angkutan umum) mencari penumpang lain. Ngetem lagi di Leuwidamar, padahal tuh minibus dah sesak. Gila bener dah tuh sopirnya. Bareng naik mobil sama beberapa orang Baduy luar.

Akhirnya sampai di Ciboleger sekitar jam duaan. Langsung menuju ke rumah Kang Salman, yang menyediakan tempat buat kita menginap di hari terakhir nanti, sementara panitia mendaftarkan nama-nama peserta di buku tamu yang wajib diisi. Rumah Kang Salman ini cuma seling satu rumah dari rumah Jaro Dainah, Kepala Kampung Kaduketug.

Ishoma dan icip-icip duren jualannya Kang Salman trus poto-poto bentar di sekitar rumah. sebelum mulai  perjalanan ke Cibeo, salah satu kampung di Baduy Dalam. Orang Baduy dalam yang pertama kita temui itu pulung dan bapaknya, Pak Idong (namanya baru kita ketahui dalam perjalanan pulang, kebangetan ya?) . Ternyata kita akan menginap di rumah mereka nanti di Cibeo. Menjelang ashar rombongan kedua menyusul. total peserta ditambah panitia dua belas orang. Pas mau berangkat mendadak hujan turun, terpaksa ditunda sebentar sampai hujan tinggal gerimis.


Sekitar setengah jam pertama setelah mendaki,tiba di pemberhentian pertama, yaitu Danau Dang-Dang Ageung. Danaunya lumayan indah, tapi ga sempet lama-lama karena ngejar biar ga kemaleman ke Cibeo.


Setelah danau, kami melewati kampung pertama, cuma saya lupa nama kampungnya. Napas sudah putus-putus sama dengan sinyal si merah. 


Setelah satu jam pertama pendakian, mulai bertanya: ini turunannya mana sih? Masih jauh, ya? Kapan sampainya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bergulir hingga waktu maghrib saat kembali beristirahat di sebuah huma yang ternyata sudah berada di wilayah Baduy dalam. Mulai dari sini kami diminta untuk tidak mengambil foto, menyalakan alat perekam dan sebangsanya. Hari pun merambat malam, namun perjalanan masih panjang. Setelah beberapa insiden beberapa kawan yang jatuh bangun, saya pun tak kuasa lagi membawa beban tas di punggung dan meminta bantuan pada Safri, salah seorang pemuda (katanya sih baru lima belas tahun)  untuk membawakan tas. 

Baru pada pukul setengah sepuluh kami akhirnya tiba di Cibeo. Kesan pertama saya: sunyi dan damai. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, saya bisa melihat bintang di langit. Subhanallah. Indahnya. Kejadian berkesan berikutnya adalah saat terpaksa mandi malam-malam di kali, ga tahan sama keringat yang membasahi tubuh. Dinginnya, ga tahan!!! Cuma cebar-cebur, karena ga boleh sabunan pula. yang penting keringat lenyap. Abis mandi, sholat trus makan deh. Satu keunikan orang Baduy dalam, mereka menanam padi sendiri (sistem padi ladang) yang tahan disimpan di leuwit selama puluhan tahun dan mereka tidak akan menjual padi mereka. Tapi kita boleh makan sepuasnya. Kami makan nasi berlauk sambal goreng cabe hijau dan ikan saja. Dan saya seketika jatuh cinta dengan sambal mereka. Nikmat tiada tara. Bukan hanya karena energi yang terkuras habis bikin apa pun terasa nikmat. Salah satu dugaan saya yang meleset adalah waktu saya pikir mereka makan lalap-lalapan seperti halnya orang sunda, ternyata tidak. Bersyukurlah saya yang setiap hari masih bisa menjumpai sayuran, entah itu cuma tumis kangkung, sayur katuk, bayam, atau sayur asem. Kinda miss my home...

Selasa, 15 November 2011

Festival Pembaca Indonesia 2011

Festival Pembaca Indonesia 2011 "Jelajahi Dunia Membaca", Minggu 4 Desember 2011, Plaza Area - GOR Soemantri Brojonegoro, Pasar Festival Kuningan, Jakarta Selatan. GRATIS!

Photobucket

Kamis, 03 November 2011

My New Family

Hmm... rasanya udah lama banget ga posting. Hari ini mo cerita soal my new family member aja. Recently (on impulses as always) I decided to bought a new lens. The cheaper one of course. My lens kit is broken, and I think better bought a new one than repair it (coz the cost is half the new lens). Found it in the Alpharian forum. It's my first fixed lens, 50 mm f 1.8. and I do really love it so much. I only got a chance to testing in recently too. And here they are. It makes me wanna go oo... oo...







Its amazing, even with my lack of talent, it still so amaziiiiiiing. Don't you think so too? It makes me cannot wait for the next trip.
The pictures taken in Dayak Days 2011 event at TMII.

Minggu, 31 Juli 2011

I Was There,

Ujung Genteng, Sukabumi, 16-17 Juli 2011  

A fortnight ago, I have quite an adventure. At last I had a chance to visit the place I wanted to visit for a very long time. I've heard about it since high school. One of my teachers told me about it. 


I made up my mind to visit it this year. But, time and money were not good friends of mine. Until last week, my friends ask if I want to go there with them. Definitely, I would.
UKI become the starting point. We left at eight thirty. The highway not too crowded but it became on-off system out after Ciawi. We've also got lost coz we took the wrong turn at Sukabumi. After asking several people we've finally found our way. And it’s still a long way to go.

We had arrived at Surade around four in the morn. You couldn’t imagine how bad the road we through. The turns are crazy, with the dark gorges on the other side. And by subuh we finally landed in Ujung Genteng. 

The Full Moon

My first impression of that place: it’s so quiet. And nobody loitered around, while in Jakarta at the same hour people might already scramming in a rush.

Sunrise
 
We were looking for a mosque to pray. And then, we just scattered in the beach until sun rises. We almost disappointed when the sun wasn't as we expected. And the most interesting thing was we can see the sun in the east and the full moon in the west. The sky seemed not so far away.

 Sunrise of First Day

After taking several photos we headed to the home stay, getting showers and breakfasting then we headed to our first destination. Since we didn't know where it is, we asking our renter. But the lady says she also didn't that place. Then some of the local people offered to guide us to Curug Cikaso, only (!) costing us for 150K. Of course we declined; beside we came with our own car. 

Curug Cikaso 

The road to the curug was not that bad, but not that good either. it’s quite narrow too. To reach the curug we paid 80K to ride a boat. Actually we can walk there, if we want to take a bit of adventure. Since its in the dry season, the waterfalls volume didn’t to much exciting. There were three waterfalls. The rocks were superb. And again the atmosphere was calming.


We were having lunch on the way back. And it’s the weirdest lunch I ever have. I ordered tongseng, but the ingredients were not usual. They used green vegetable, and the broth was white. And not to mention the service took sooooo long. We almost starved to death.

When we’re on the way back we took another stop at the beach, when the sea a low tide. Then we planned to go to Pangumbahan Beach to participate in turtle extrication. But again we’ve got lost. And the sun was already setting in. Oww… we hurried to get to the beach. Didn’t manage to take sun setting photo but quite satisfied with what we’ve got. 

 Senja

But because of that we missed the event at Pangumbahan. FYI, the extrication started at 5 o’clock. We stay there to watch the turtle laying eggs at night. There also some room to be rented if you want to stay close to the beach. We watched the documentary about the green turtle and why they became endangered because what human did. The hunting, eggs stealing, and garbage we threw to the sea could also caused their extinction. And again we’re not so fortunate because they won’t come out until ten o’clock. So we decide to back to the inn, but before we taking dinner. After that, the spirits back, so we thinking to return to Pangumbahan. And we’re lucky this time. There were two turtle already laying their eggs. Finally, we could watch it. The sand in Pangumbahan was so soft and quite deep too. We were not permitted to use any light because it would scare the turtle whom going to get to the shores. Beside, the full moon already shone so bright. I wasn’t able take the turtle photo. It’s me getting sentimental, mostly because of what we watched earlier. I imagined if it’s was me on her shoes. And I was angry with the people who ignored the warning not to use their flashlight. Arrgh… I really wanted to bash them all. 


We got back to the inn at two o’clock. Early in the morn the next day, we back to the fish market to get the best sun rise. And again the sun wasn’t friendly to us. It rises so fast and clouded too. My friend got absorbed taking a fisherman boy who fixing the boat. While I watched them from afar, a boy come close to me and asked what I was doing. I said we’re taking photo. Since his so friendly, I asked him if he know the boy there. And he said he was his brother. The boy said his name but I couldn’t hear it clearly. But then he introduced himself as Odos (whatever that mean). And then I asked if he wanted to joint to be photographed. First he got shy, but then more eager than his brother. We taking him to breakfast with us, but his brother refused.


After that we’ve back, showered, and packing to get home. On the way home, we stopped by at Amanda Ratu. There was an atoll look like the one in Tanah Lot, Bali, without the temple above, of course. There was this calming atmosphere again. How I loved it. It was a nice place to just laying around enjoying the wind rushed in your face while listening a nice music or reading a good book. 



Then the vacation was over already. We’ve back at Jakarta at the same time we left. But overall, it’s quite refreshing adventure. And I would love to go there some other time.



Kamis, 30 Juni 2011

Beelzebub

Beberapa hari terakhir gw kecanduan sama Beelzebub, manga karangan Ryūhei Tamura. Sambil menunggu manganya diterbitkan di Indonesia, baca online sama nonton animenya aja dulu.


Sinopsis

Suatu hari, Demon King--yang jengkel dengan ulah manusia dan jumlah mereka yang terus bertambah--memutuskan untuk menghancurkan bumi. Namun sayangnya rencana itu tidak bisa dijalankan karena jadwalnya yang padat. (lol) Kemudian ia memerintahkan agar putranya, Baby Beel, menggantikannya untuk memusnahkan manusia. Baby Beel yang masih balita pertama-tama harus menemukan orang tua manusia yang bisa membangkitkan kekuatannya yang terpendam. Manusia tersebut haruslah seorang yang kejam, tidak berbelas kasih, memiliki harta dan jabatan politik, begitu pikir Hilda--pengasuh Baby Beel. Tak disangka-sangka, Alaindelon yang membawa Baby Beel ke dunia menyerahkan putra sang raja iblis kepada Oga Tatsumi, yang dilihatnya sedang 'mencuci' lawannya di sungai. Dimulailah petualangan sang bayi di dunia manusia.

Sepintas karakter

1. Oga Tatsumi 



Berandalan murid kelas satu di SMU Ishiyama. Mukanya bisa berubah jelek kayak Onizuka. Sepintas evil grinnya mirip sama Ikki di Air Gear. Entah kenapa dia bisa temenan sama Furuichi yang pinter tapi lemah. Dan lucunya, mereka bisa berkomunikasi tanpa berbicara dengan satu sama lain di beberapa kesempatan.

2. Baby Beel


Nama lengkapnya Kaiser de Emperana Beelzebub IV. Pertama kali liat, langsung suka. Kawaiiii... zoro kecil kayak gini kali ya :D Si Baby Beel ini punya sifat mudah terkesan sama orang kuat, makanya waktu sakit dia mau gelayutan sama si Toujou, yang waktu itu lebih kuat ketimbang Oga. Baby Beel juga takut ama serangga. Kalo udah nangis bisa ngeluarin aliran listrik yang dahsyat. Kedatangannya ke rumah keluarga Oga langsung diterima saking miripnya si bayi sama Oga. Si baby Beel juga bisa serius loh waktu dengerin nasihatnya Oga supaya jangan cengeng dan gampang nangis gara-gara hal sepele.

3. Hildagarde


Sanji versi wanita sebelum berubah belah rambutnya... hahaha... ga tau kenapa gw ga bisa ga ngebandingin karakter di seri ini sama seri lain. Hilda nih tipe serius yang amat bertanggung jawab sama kewajibannya (dia gak mau nyebut ngasuh Baby Beel sebagai pekerjaan). dan dia seneng banget waktu disuruh Demon King waktu jadi ibu pengganti buat Baby Beel. Ekspresinya selalu datar, jarang kelihatan emosi, dan selalu berseragam maid ala gotik. Awalnya Hilda ga terima kalo Baby Beel milih Oga buat jadi orangtuanya, tapi waktu insiden popok di supermarket dan waktu Oga ngalahin Toujou buat ngerebut Baby Beel, si Hilda sedikit respek sama Oga. Hilda juga keliatan manis waktu pake yukata dan main kembang api sama Baby Beel. Sama temen-temennya Oga di Ishiyama, Hilda dijuluki Istrinya Oga. rofl.

Karakter yang mirip sama serial lainnya itu si Kaoru Jinno yang menurut gw rada mirip sama si Sado di Bleach kalo rambutnya dikuncir gitu. Trus si Aoi juga mirip Rai di Sailormoon, yang juga sama-sama penjaga kuil.

Karakter yang bikin gw penasaran itu si misterius Natsume, yang ternyata kekuatannya melebihi Kanzaki sama Himekawa, dua orang pimpinan Tohoshinki. Dia bahkan bisa ngalahin Aizawa sama Jinno, tangan kanan dan tangan kirinya Toujou dalam sekejap, yang bikin dia jadi satu-satunya orang yang ga terluka dalam perang yang menghancurkan gedung sekolah SMU Ishiyama.






Selasa, 28 Juni 2011

Hujan di Bulan Juni

Tadi pagi terbangun dengan rintik hujan di bulan Juni di luar jendela kamar. May today onward always be blessed...
 
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

- Sapardi Djoko Damono -



Kamis, 09 Juni 2011

Jane Austen

 Iseng-iseng pas lagi nyari review-an buat back cover.
 hasilnya:

You Are...Anne Elliot!

You are Anne Elliot of Persuasion! Let's face it; you're easily persuaded, particularly when friends and relatives try to use "the Elliot way" against you. But this doesn't mean that you don't have conviction. Actually, your sense of duty is overwhelming. And though you won't stick your neck out too often, you have learned to speak up when it counts. To boot, you know how to handle sticky situations. You love deeply and constantly.


Jumat, 06 Mei 2011

Jelajah Pulau Tidung

Long weekend kemarin mengambil cuti dua hari. Sebenarnya saya bersama kawan-kawan hendak pergi ke Ujung Genteng, namun karena kurangnya pesiapan dan tidak direncanakan jauh-jauh hari, destinasi berubah menjadi ke Pulau Tidung. Kami mendaftar di Cemara Adventure untuk paket seharga 350K dengan fasilitas menginap dua hari satu malam, transportasi ke dan dari P. Tidung, snorkling di Pulau Payung, sepeda untuk transportasi di pulau. Tapi sejujurnya saya agak kecewa, karenaaa... ga dapet sunset dan sunrise yang bagus.. hiks. maybe next time. Oia, fyi aja, sinyal indosat di sini sering terganggu, tapi sinyal telkomsel jaya selalu. wahahaha... sebenernya masih pengen keliling pulau tapi apalah daya. sepertinya dua hari itu memang terlalu singkat untuk menikmatinya.


Ga tau gimana settingannya tapi gw suka banget ama birunya foto di atas. Padahal waktu itu tengah hari bolong.



Sunset yang mengecewakan dan tidak bisa dinikmati karena padatnya orang berkerumun di jembatan.

Pulau Payung dan mercusuarnya

iseng-iseng nyoba efek hdr di CS5

Jelajah Kuantar Ke Gerbang: Romansa Inggit - Soekarno di Bandung

Tanggal 17 April yang lalu saya menyempatkan diri mengikuti acara Jelajah Kuantar Ke Gerbang: Romansa Inggit - Soekarno di Bandung. Acara tersebut diselenggarakan Penerbit Bentang Pustaka bekerja sama dengan Komunitas Aleut dan Goodreads Indonesia.

Perjalanan hari itu adalah perjalanan pendek mengitari kota Bandung dengan jarak kira-kira sekitar dua kilometer. Perjalanan dimulai dari Museum Konferensi Asia Afrika sampai ke rumah Inggit Garnasih di Jalan Inggit Garnasih No. 8 (dulu Jalan Ciateul).

Dari Museum KAA kami menuju apa yang tersisa dari Penjara Banceuy, tempat Soekarno mendekam selama delapan bulan pada masa penjajahan Belanda. Kini tinggal sel nomor 5 serta sebuah tugu kecil yang menandai sisa-sisa tempat Soekarno menyusun pleidoinya yang berjudul "Indonesia Menggugat". Sel berukuran kira-kira sekitar 2,5 m x 1,5 m itu berdiri di tengah-tengah kepungan kompleks pertokoan Banceuy Permai. Sebelum memasuki lokasi sel, terdapat menara pengawas yang merupakan bagian dari penjara Banceuy dulu, tapi sayang kondisinya sangat memprihatinkan, penuh sampah dan coretan ulah tangan-tangan usil.



Dari penjara Banceuy, kami menuju Masjid Raya Bandung yang merupakan salah satu hasil rancangan Soekarno. Dari situ kami menuju Pendopo, kediaman gubernur Jawa Barat. Lalu kami melewati Rehobot, menuju ke Gedong Dalapan, dan Jalan Jaksa. Ada pun di setiap tempat-tempat yang disebutkan itu pernah menjadi tempat tinggal Inggit dan Soekarno sebelum akhirnya menetap di Jalan Cianteul.



Dari Cianteul, rombongan GRI melanjutkan perjalanan ke Reading Light. Sebuah tempat cosy yang pas buat nyari buku, wi-fi gratisan, atau cuma untuk sekadar hang out. Kita dapat tempat di bagian belakang lantai dua yang nyaman banget. Oia, satu lagi nilai tambah adalah diskon 15 persen untuk F&B yang kita pesan di sini.


Setelah mengisi perut di Nasi Bancakan, akhirnya kunjungan ke Bandung ini resmi berakhir. Sampai jumpa di jelajah berikutnya.

Senin, 28 Maret 2011

Nobar GRI: Mystery of Batavia

Sabtu kemarin menyempatkan diri ikut nonton bareng yang diadakan GRI bekerja sama dengan Museum Sejarah Jakarta dan British Council. Nobarnya ada dua film. Pertama, film Coraline, diputar jam 15.00 WIB di ruang rapat UPT museum. Dilanjutkan film Mystery of Batavia pada pukul 19.00 WIB di foyer ruang etnografi museum. Untuk Coraline saya sudah pernah nonton sebelumnya. Yang bikin penasaran itu film yang kedua, yang katanya termasuk film multibentuk. Kenapa begitu? Ya, karena film itu menggabungkan beberapa unsur sekaligus, mulai dari video mapping projection, interactive animated performance, komik digital, game online, dan permainan interaktif macam treasure hunt gitu.


Film itu sendiri merupakan hasil kerja para kolaborator antarbangsa, lintas-profesi, dan multi-generasi, yang terdiri dari seniman Inggris-Indonesia, sejarawan, penulis, artis, animator, desainer game, dan aktor teater, yang dikerjakan sekitar setahun penuh. Semuanya berawal dari penemuan mural yang memotret penduduk multietnik Batavia di zaman pemerintahan Belanda karya Harijadi Sumodidjojo yang berjudul "Situasi Batavia pada kurun 1880-1920" pada tahun 2010 oleh sekelompok seniman Inggris dan Indonesia.



Lukisan tersebut tidak sempat diselesaikan karena keadaan dinding yang makin lembap dan cat tidak bisa menempel. Lukisan itu memperlihatkan situasi dan kondisi sosial politik di Batavia pada kurun waktu tersebut, lengkap dengan detail-detail pakaian, perhiasan, aneka penganan dan lain sebagainya.

Film Mystery of Batavia ini menceritakan tentang cerita petualangan detektif abad ke-19 yang melibatkan mitos pedang Pangeran Jayakarta yang hilang. Pedang itu dipercaya membawa tuah tak terhingga kepada siapa saja yang menguasainya atau justru menjadi penjaga kota dari segala marabahaya. Empat orang tokoh bertemu dalam pusaran seteru. Sang Elang (Victoria, istri Ruud van Brekelen), Naga (Ong Sek Hok, bek China yang mendendam akibat pembantaian kaumnya pada 1740), Singa (Mustafa bin Khalid, seorang perompak keturunan Arab), dan Hiu (Thomas Xavier Makatita, seorang anggota marsose). Mereka mempunyai misi serupa: segera menemukan jimat pedang Pangeran sebelum Batavia jadi neraka selamanya. 

Yang lebih seru lagi, penonton juga diajak terlibat dalam pertunjukan sebagai tamu-tamu yang menghadiri pesta yang diadakan Meneer Ruud, membaur dengan para pemain teater dari Teater Koma. Pada akhir pertunjukan, penonton juga berkesempatan mengikuti permainan The Magic Torch Game. Menggunakan senter khusus, secara bergantian, penonton diminta mencari pedang yang hilang itu dengan menyorot layar menggunakan senter tersebut. 

FYI, lukisan karya Harijadi Sumodidjojo itu dibuat "hidup" oleh seniman asal Inggris, Ian Livingstone, yang memproduseri game laris Lara Croft: Tomb Raider, serta novelis grafis Ed Hilyer, yang karyanya diterbitkan Marvel, DC Comics, dan Dark Horse.

Film Mystery of Batavia:  The Interactive Epic Adventure ini dapat disaksikan  mulai 12 Maret sampai 15 Mei 2011, setiap Sabtu jam 16.00-20.00 dan Minggu jam 10.00-14.00 di Museum Sejarah Jakarta. Setiap harinya, bakal ada 7 kali pertunjukan. 

Info buat tiket gratisnya:
Bisa datang dan antre untuk tiket gratis di Museum Sejarah Jakarta: Sabtu dari jam 15:30 WIB (pertunjukan ulang setiap 30 menit dari jam 16:00 sampai jam 20:00) dan Minggu dari jam 9:30 WIB (pertunjukan ulang setiap 30 menit dari jam 10:00 sampai jam 14:00)

Kalau nggak mau ngantre:

1.      Pesan via Mbak Dessy Sekar dari Forum Indonesia Membaca di Museum Bank Mandiri: daisy.jazzy@gmail.com (khusus anggota komunitas dan warga Kotatua)
2.      Pesan sama mas Bob, ticketing officer, via email: ibob26@yahoo.com
3.      Nyelesaiin game di portal MoB sampai kelar. Kalau kamu bisa nyelesaiin, maka akan dikirimi email dari MoB dengan unique number dan tanggal dan jam kapan kamu bisa nonton.
4.      Ikut kuis portal komunitas kaskus, urbanesia, greenradio, prambors, fashionesedaily/mommiesdaily, forumblogdetik, wartakota mulai tanggal 28 Februari 2011
5.      Beli suvenir JakartaPunya! di booth KADIN Jakarta di Museum Jakarta mulai tanggal 12 Maret, pukul 18:30


Pintu masuk dan pengambilan tiket untuk pertunjukan mulai hari Minggu, 13 Maret, melalui pintu kantor UPT Kotatua, di sayap kiri Museum Sejarah Jakarta.

Senin, 07 Maret 2011

A Piece of Dusk


"Dusk is just an illusion because the sun is either above the horizon or below it. And that means that day and night are linked in a way that few things are there cannot be one without the other, yet they cannot exist at the same time. How would it feel I remember wondering to be always together, yet forever apart?"
Nicholas Sparks (The Notebook)

Kamis, 10 Februari 2011

Imlek 2562

Di tengah kesibukan dan berbagai keterbatasan, akhirnya bisa juga menyempatkan diri menyaksikan malam imlek yang dikoordinasikan oleh Komunitas Jelajah Budaya (KJB). Karena salah prediksi, menjadi peserta paling buncit, dan ketinggalan rombongan. Nyasar dulu di halte transjakarta dukuh atas. Untungnya ada teman yang menjadi panitia, jadi kami ditemani hingga menyusul rombongan terakhir. Rutenya hampir sama dengan acara cap gomeh setahun yang lalu, meskipun sedikit berbeda karena suasana malam. Note to self: buy a tripod, coz can't afford to buy a new lenses. Biar bisa explore suasana malam. kayaknya emang kudu memperbanyak keluar nih...













share it