Selasa, 19 Oktober 2010

Roman oh Roman...


Judul        :   Manhattan Merger
Tebal       :   232 hlm
Penerbit   :   GPU 
Terbit      :   Maret, 2008


Pertama kali saya membaca buku HQ ini waktu di SMA. Buku terjemahannya tentu saja. Menemukannya di antara buku-buku praktik di perpustakaan. (baru sadar sekarang kok di perpustakaan ada buku aneh-aneh begitu). Saat itu saya memutuskan untuk tidak akan pernah membaca buku semacam itu lagi. Kenapa? Karena saya menganggap buku seperti itu tidak ada gunanya dan banyak mempertontonkan adegan vulgar.

Sampai beberapa bulan yang lalu saya masih memegang teguh kepercayaan saya untuk tidak menyentuh buku semacam itu. Namun, karena tuntutan pekerjaan (memang suka menyalahkan kondisi saat tidak ada orang yang bisa disalahkan), saya terpaksa membaca buku semacam ini. Saya tidak habis pikir mengapa buku-buku seperti ini laku di pasaran. Timbul pertanyaan menarik yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Mengapa kaum hawa banyak yang menyukai buku dengan genre tersebut?

Buku Manhattan Merger ini menurut saya cukup menarik, terutama pada bab 2 dan bab 3. Saya sampai penasaran ingin tahu bagaimana selera pasar menentukan sebuah bisnis penerbitan. Karena buku ini saya jadi ingin tahu seberapa besar sih penerbit Harlequin yang mengkhususkan diri untuk menerbitkan genre roman ini?

Setelah membaca buku ini, saya jadi tergugah untuk mencari lebih banyak. Dan saya baru tahu kalau Harlequin Enterprises Limited sudah berdiri sejak tahun 1949 nun jauh di Winnipeg, Kanada, sana.

Sejarah singkat HQ

Buku yang pertama kali diterbitkan adalah buku karya Nancy Bruff (orang US), The Manatee, yang dijual dengan harga 50 sen. Pada awalnya HQ mengakuisisi naskah dari penerbit lain. Editor pertama HQ adalah Mary, istri Richard Bonnycastle, salah satu pemegang saham utama. Baru pada tahun 1964, HQ mendedikasikan dirinya secara eksklusif untuk menerbitkan serial roman. Saat Lawrence Heisey menjadi presiden perusahaan, novel-novel HQ mengalami standarisasi, cetakannya dibatasi hanya 192 halaman untuk mereduksi kertas cetakan dan mulai di-branded seperti komoditas lainnya.

Persaingan lahan roman ini meningkat pada tahun 1975. Karena meskipun berasal dari Kanada, HQ hampir menguasai seluruh wilayah pemasaran di Amerika. Sampai Simon & Schuster mendirikan imprint Silhoutte sebagai saingan, yang mengeksplor isu-isu kontemporer. Namun, penerbit ini pun akhirnya berhasil diakuisisi HA pada 1984, meskipun berhasil mempertahankan kendali dalam pemilihan naskah dan proses editing.

HQ saat ini dikuasai oleh Torstar Corporation, perusahaan surat kabar terbesar di Negeri Daun Mapel tersebut. Pada 2002, HQ menerbitkan lebih dari 1000 judul novel, yang sebagian besar terjual di Amerika Utara. Penerbit roman lain yang cukup produktif adalah Kensington Books yang hanya mampu memproduksi 219 judul. Sampai tahun 2006, HQ telah menerbitkan buku dalam 26 bahasa di 109 negara

***

Pro – Kontra
Dalam buku ini, saya juga menemukan beberapa pro dan kontra mengapa buku roman yang diterbitkan HQ ini sering dianggap karya picisan yang tak layak disandingkan dengan karya sastra lainnya. Seperti halnya tokoh Diane, saya dan mungkin banyak orang lain, menganggap bahwa buku roman adalah sebuah pembodohan. Cerita roman hanya memperlihatkan bagian-bagian yang menyenangkan dari sebuah hubungan asmara, dan tidak pernah bercerita tentang hubungan jangka panjang (p.183). Dan banyak pula cerita roman yang laris manis jika sang tokoh adalah orang biasa dengan tampang pas-pasan tapi memiliki kelakuan atau sikap yang menarik. Menurut chief ed saya, itu karena banyak wanita yang merasa dirinya tidak cantik, tapi ingin dianggap menarik. Jadi mereka merasa senasib dengan para tokoh yang biasanya tertindas macam di sinetron.

Pendapat pro dikemukakan oleh Rainey, tokoh utamanya, Catherine, dan Linda. Linda, misalnya, mengatakan bahwa menyenangkan membaca bagaimana dua orang yang berbeda akhirnya bersatu (p.182). Meskipun banyak konflik dan rintangan, tapi pada akhirnya tokohnya menikah dan hidup bahagia. Happily ever after.

Mau ikut yang pro, mau kontra, terserah. Toh, mau bagaimanapun tetap pasar yang menentukan. Percaya atau tidak, saat ini penjualan buku roman di tempat saya bekerja meningkat dua kali lipat. Jika untuk novel lainnya hanya dicetak maksimal 5000 eksemplar, maka jangan heran kalau novel-novel roman tetap laris saat dicetak dua kali lipatnya. Ini opini murni pendapat saya. Entah orang lain.

Btw, ini gambar Nantucket Lighthouse, lukisan karya Thomas Mcknight yang disebut-sebut dalam novel ini.

Kalau saja saya punya uang untuk membeli sebuah mercusuar dan tinggal di dalamnya....

sumber tentang HQ:
www.eharlequin.com

Selasa, 12 Oktober 2010

Oktober Datang Juga

Wah, ternyata udah dua bulan gak posting sama sekali. Bukannya males tapi emang lagi banyak kerjaan alias ngejar setoran. Abis waktunya kerja malah baca manga :p *jangan ditiru yak*

sebenarnya banyak kejadian yg pengen diceritain tapi gak sempet mlulu. Trus daripada bulan ini berlalu tanpa postingan, mending repost poto aja ah. ini poto-poto yang diambil di sekitar bunderan senayan, pulang nobar Legend of the Guardian dari Penerbit Kubika. btw itu pelem keren deh.



 Dian yang tak kunjung padam.

Wings (ceritanya mo ngikutin iklan BNI).

Buckbeak (imajinasi).

in between.

Kamis, 29 Juli 2010

Pada Hari Minggu

night's left-over
Niat bangun pagi di hari minggu mau berburu matahari terbit. Alasannya sederhana: mau pamer. Pertama, pamer bisa juga bangun pagi di hari minggu, karena akhir-akhir ini jadi males bangun pagi. Kedua, pamer bisa juga ngejepret sunrise. Abis liat foto-foto temen yang keren-keren jadi sirik sendiri. Maka diniatkanlah setelah shalat subuh, mengambil sweter, pake sepatu dan nangkring di jalan layang Pasar Rebo. Pilih jalan layang karena itu tempat paling tinggi yang bisa dicapai. Udah kebayang sunrise yang bakal dijepret. 

Sempet jempret pas suasana masih agak gelap, tapi karena gak punya tripod jadi ngeblur semua. So, masukin tripod jadi wishlist taon depan, ya, menyugesti diri sendiri. Setelah menunggu, ternyata sunrise tak kunjung tiba. Cuma ada awan yang semburat kemerahan ini. 
Trus ditambah cuaca yang mendung tak ada sunrise yang spektakuler yang ada di benak sedari malam. Gw memutuskan untuk berjalan ke arah Jalan Baru. Berhenti sebentar di jembatan penyeberangan. Jepret sedikit sinar matahari yang nongol di belakang RS. Bina Waluyo.
another left-over

Melanjutkan perjalanan sampai ke jembatan penyeberangan Terminal Kp. Rambutan. Sebenarnya agak waswas, mengingat ketinggian jembatan. Sendirian pula. Tapi dengan segenap keberanian dan diliatin orang-orang yang nunggu bus, asik jeprat-jepret sendiri akhirnya.

In Between
Just The Two of Us
Breakthrough

Mengakhiri perjalanan minggu pagi dengan memotret grafiti di dinding terowongan jalan tol Cikunir di depan Pintu II TMII. sempat kepikiran pengen masuk, tapi gak jadi. Perut dah keroncongan minta diisi. Jadi, sampai di sini kisah minggu kali ini.
Patronus
scalawags look-a-like

Rabu, 28 Juli 2010

Terbang Bebas Mengangkasa

Dapat melayang seperti burung adalah kenikmatan tiada duanya di dunia. Pengalaman tersebut bisa dirasakan Erwin saat mencoba olahraga paralayang di Bukit Gantole, Bogor. Bersama keempat orang teman sekantornya, ia mencoba olahraga yang memacu adrenalin tersebut. 

Paralayang adalah salah satu cabang olahraga terbang bebas yang baru diresmikan sekitar awal tahun 1990-an di Indonesia. Berbeda dengan gantole yang menggunakan perangkat terbang berbentuk segitiga, paralayang menggunakan parasut. Paralayang biasanya menggunakan bukit atau gunung sebagai landasan pacu. 

Erwin dan kawan-kawannya berangkat Minggu pagi pukul delapan dari Jakarta, namun karena kawasan puncak termasuk daerah rawan macet di akhir pekan, mereka baru tiba di tempat tujuan sekitar pukul sebelas siang. Waktu yang tepat sebenarnya, karena pada saat itulah biasanya angin bertiup cukup kencang. 

Banyak lokasi yang menyediakan tempat untuk mencoba olahraga ini di sekitar daerah Jawa Barat. Erwin dan kawan-kawannya memilih Bukit Gantole dengan alasan lokasinya yang dekat dan mudah dicapai. Bukit Gantole, yang nama sebenarnya adalah Bukit Paralayang, tidak begitu sulit untuk dicapai. Letaknya sekitar 100 meter dari Masjid Raya At-Taawun, Puncak Bogor. Bagi yang ingin mendapatkan sedikit informasi tentang olahraga paralayang ini, bisa mampir dulu di sekretariat Persatuan Olahraga Dirgantara Layang Gantung Indonesia (PLGI) yang bernaung di bawah Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). 

Dari sekretariat tinggal berjalan sejauh 20 meter lagi menuju tempat lepas landas. Suasana di landasan hari itu cukup ramai. Beberapa orang sedang menunggu angin untuk membawa mereka terbang. Dibutuhkan banyak kesabaran menunggu sampai waktunya tiba untuk lepas landas, karena olahraga ini hanya mengandalkan angin untuk membawa penerbang terbang tinggi dan mencapai jarak yang jauh. 

Olahraga ini bisa diikuti oleh siapa pun yang berusia minimal 14 tahun dan maksimal 60 tahun. Untuk peminat yang berumur kurang dari 18 tahun harus mendapat izin dari orangtuanya sebelum bisa terbang. Terbang tandem bisa mengangkut penumpang dengan beban mulai dari 25-95 kg. Setelah mendaftar mereka akan diminta untuk menandatangani waiver, semacam formulir yang menyatakan kalau mereka siap menerima segala konsekuensi sebagai penumpang tandem. 

Sebelum terbang, para penerbang harus mengenakan perangkat paralayang berupa parasut, helm, dan flight suit (baju terbang). Flight suit ini berfungsi sebagai tempat duduk saat melayang di udara, sehingga penerbang bisa bebas memotret pemandangan dari atas. 

Bagi yang baru pertama kali terbang akan menjadi penumpang tandem. Maklum, olahraga ini termasuk berbahaya apabila tidak didampingi oleh orang yang berpengalaman. Penerbang didampingi seorang pilot, sebutan untuk tandem master yang bertugas sebagai instruktur. Pilot akan memandu mulai dari tinggal landas, selama penerbangan, sampai pendaratan. Kebetulan pilot yang membawa Erwin adalah Opa David, yang merupakan salah satu pelopor olahraga ‘terjun gunung’ yang kemudian dikenal sebagai paralayang ini di Indonesia. Opa David yang sudah berumur 53 tahun sudah mengantungi sertifikasi tandem master level 7, level tertinggi dalam cabang olahraga paralayang. Bersama rekan-rekan PLGI, Opa David sedang sibuk mempersiapkan fasilitas di Bukit  Gantole untuk dipergunakan dalam SEA GAMES XXVI 2011. 

Saat cuaca dan angin dirasa sudah mencukupi, aba-aba diberikan kepada penerbang. Namun sebelum itu, penerbang harus berlari ke ramp yang berbatasan dengan perkebunan teh. Dan wuush... parasut pun terbentang membawa sang penerbang. 

Untuk sesaat rasanya seperti menjadi bukan manusia, ungkap Erwin. Paralayang jauh lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan parasailing yang juga pernah dicobanya. Paralayang membawanya terbang bebas mengangkasa laksana burung. Langit biru, hamparan petak-petak rumah, pucuk-pucuk cemara, dan hijaunya barisan pegunungan adalah kenikmatan lain yang bisa didapat saat terbang. 

Tak terasa 10-15 menit telah berlalu, akhirnya terlihat landing area di sebuah lapangan bola di Lereng Gunung Mas. Pilot memberi aba-aba untuk mendarat. Dibantu oleh ground crew, yang terdiri dari anak-anak usia sekolah SD dan SMP, Erwin dan pilotnya membereskan perlengkapan terbang mereka. Dari sana, mereka kembali ke bukit paralayang dengan menggunakan angkot yang sudah disewa oleh asosiasi. Sampai di Bukit Gantole, sang pilot pun segera bersiap-siap kembali terbang tandem dengan teman-teman Erwin yang lain. 

Demi menikmati olahraga paralayang ini, Erwin tidak segan-segan merogoh koceknya dan mengeluarkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk sekali terbang. Memang relatif mahal, tapi sebanding dengan faktor keamanan dan ongkos sewa peralatan serta pengalaman seorang tandem master. 

“Pengalamannya tidak ada duanya,” ujar Erwin, lelaki penyuka extreme sport yang bekerja sebagai humas sebuah perusahaan pertambangan ini. Ia bahkan mempertimbangkan untuk mengikuti kursus penerbangan paralayang. 

PS. Dibuat untuk tugas pelatihan menulis.

Selasa, 29 Juni 2010

Jalan Layang Penuh Rezeki

Ada gula ada semut, barangkali adalah pepatah yang tepat untuk menggambarkan para pedagang yang mangkal di flyover di atas Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur. “Habis banyak orang yang berhenti di pinggir pagar,” ungkap Bang Jalu, seorang pedagang batagor, yang turut berjualan di jalan layang di atas lampu merah Pasar Rebo itu.

Awalnya dulu Bang Jalu berdagang keliling kampung di sekitar daerah Gudang Air, Pasar Rebo. Hingga pada suatu sore sepulangnya berdagang, ia melintasi perempatan tersebut dan dari bawah melihat ramainya orang berhenti di pinggir dekat pagar pembatas jalan layang. Saat itu sudah ada beberapa pedagang minuman dan buah-buahan yang berjualan, kenangnya. Ia kemudian mencoba peruntungannya di tempat itu sejak tahun 2007.

Tiga tahun berlalu, sekarang ia sudah punya beberapa kenalan yang kini jadi pelanggan tetapnya. Pelanggannya adalah para komuter pengendara motor yang baru pulang kantor. Mereka terkadang berhenti sejenak untuk melepaskan lelah atau sekadar menunggu berkurangnya kemacetan lalu lintas yang menjadi pemandangan sehari-hari terutama di jam-jam pulang kerja. Ada pula para remaja yang menikmati indahnya pemandangan kala senja dari atas jalan layang. Kadang ada juga keluarga yang bersantai di sepanjang jalan layang pada minggu sore.

Bang Jalu dan para pedagang lainnya, biasanya baru mulai berdagang pada pukul setengah lima sore. Karena saat itu matahari sudah tidak terlalu terik, dan waktunya bertepatan dengan jam pulang kantor. Sepanjang pagi, Bang Jalu pergi berbelanja bahan-bahan kebutuhan untuk membuat batagor. Tugas membuat bumbu dan batagor itu sendiri diserahkan kepada dua orang saudara yang ikut tinggal bersamanya di rumah kontrakan yang terletak di Gang Makmur, tak jauh dari jalan layang. Sementara itu, ia sendiri bertugas memasak makanan dan lauk-pauk sehari-hari, untuk menghemat pengeluaran, katanya.

Menjelang siang, kedua saudaranya berdagang keliling menggantikan dirinya yang kini tak lagi berkeliling. Bang Jalu sendiri bersiap-siap berangkat ke jalan layang. Menurutnya, berdagang di tempat itu, lumayan menguntungkan dibanding berkeliling, meskipun ia berpendapat rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Pria kelahiran Sumedang ini sudah merantau ke Jakarta sejak lulus SMP. Ia ikut menumpang di rumah pamannya kala itu. Ia sempat berputus asa karena tidak kunjung mendapat pekerjaan. Pernah ia menangis menghadapi kenyataan bahwa kehidupan di ibukota tak seindah bayangannya. Pada tahun 1996, ia ditawari untuk bekerja di sebuah tailor. Dengan pendapatan yang lumayan, ia bahkan bisa memacari seorang gadis di sekitar tempat tinggalnya. Namun apa daya, krisis moneter menyebabkan usaha tailor majikannya bangkrut. Pekerjaan hilang, pacar pun pergi, kenangnya sambil tertawa pahit. Dengan modal yang tersisa, Bang Jalu mulai merintis usaha berdagang batagor keliling.

Dari keuntungannya berdagang di jalan layang, ia berhasil mempersunting seorang gadis di kampung halamannya. Kini, bapak satu anak itu, semakin giat bekerja demi anak dan istri. Ia pun tak malu mengakui apa pekerjaannya di Jakarta. Sejak kecil ia diajarkan untuk selalu menghargai kejujuran di atas segalanya.

Di tengah persaingan antarpedagang di jalan layang, Bang Jalu masih bisa menyisihkan sepuluh ribu hingga lima belas ribu rupiah per hari untuk dikirimkan kepada istrinya di kampung. Biasanya sepuluh hari sekali, ia menitipkan uang tersebut kepada teman-temannya yang pulang kampung. Ia sendiri memilih untuk pulang kampung sebulan sekali.

Namun, sejak dimulainya perhelatan piala dunia, diakuinya kalau pendapatannya agak menurun. Banyak pelanggannya memilih pulang lebih cepat agar bisa menonton pertandingan di televisi yang disiarkan secara langsung. Pendapatannya juga agak berkurang pada hari minggu dan hari libur lainnya. Kalau sudah begitu, biasanya Bang Jalu hanya bisa pasrah, toh rezeki takkan lari ke mana. Seperti halnya jodoh, selorohnya. Tiba-tiba Bang Jalu teringat sebuah kejadian lucu. Katanya suatu hari pernah ada dua pasangan hendak mudik ke Cianjur naik motor. Mereka beristirahat sejenak di jalan layang kemudian memesan dua porsi batagor. Setelah selesai, mereka berencana melanjutkan perjalanan kembali. Sang pria menstarter motor dan kemudian melajukan motornya. Entah karena sedang banyak pikiran atau apa, si pria ini tidak menyadari kalau pasangannya belum membonceng di belakangnya. Kontan si perempuan berteriak-teriak dibantu Bang Jalu dan orang-orang yang sedang bersantai. Tapi si pria rupanya tak mendengar teriakan memanggilnya. Si perempuan panik dan hampir menangis. Bang Jalu menyarankan supaya si perempuan itu menelepon pasangannya, tapi ternyata pasangannya itu tidak membawa ponsel. Jadilah Bang Jalu memaksa seorang pengendara motor untuk mengantarkan si perempuan untuk mengejar. Mungkin masih terkejar, karena tidak jauh dari jalan layang terdapat lampu merah Cijantung.

Meskipun terlihat kesal orang yang dimintai tolong bersedia membantu, kenang Bang Jalu. Tak lama kemudian, si pria itu memutar balik dan menanyakan di mana pasangannya tadi. Bang Jalu mengatakan kalau si perempuan tadi membonceng orang untuk mengejarnya. Karena merasa bersalah, padahal niatnya ingin membantu, Bang Jalu pun akhirnya meminjamkan ponselnya agar si lelaki bisa menghubungi pasangannya. Dan akhirnya si perempuan menunggu di halte dekat lampu merah Cijantung. Pasangannya sangat berterima kasih pada Bang Jalu dan segera melaju pergi.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, pasangan itu kembali mendatangi Bang Jalu dan membawakan buah tangan sebagai tanda terima kasih atas pertolongannya waktu itu. “Tuh, kan, kalo rezeki mah nggak ke mana,” ujar Bang Jalu mengakhiri ceritanya. 

Pernah juga suatu ketika para pedagang dan orang-orang yang menepi ‘diusir’ karena jalan layang akan digunakan untuk syuting film. Yah, apa boleh buat, terpaksa Bang Jalu dan kawan-kawan menyingkir sebab syuting tak pernah berjalan sebentar. Tidak ada kompensasi, padahal dagangan belum habis. Obrolan singkat bersama Bang Jalu di jalan layang terpaksa disudahi karena hari juga sudah beranjak malam. Tapi Bang Jalu tak hendak pulang segera, paling tidak sampai dagangannya laris. 

Senin, 31 Mei 2010

Negeri van Oranje

Negeri van Oranje Negeri van Oranje by Wahyuningrat


My rating: 3 of 5 stars
Buku terakhir di bulan Mei. Melunasi utang pinjaman. Meskipun banyak banget typo-nya yang agak mengganggu, tapi buku ini lumayan menarik, terutama bagian tips-tipsnya. Jadi berpikir untuk kembali ke sekolah. Kapan ya? Yang penting nawaitu dulu, hehehe....

Oia, ada satu bagian kecil (enam huruf) yang mengganggu dari buku ini. Ketika penulis membandingkan patung Maneken Pis di Brussel dengan patung Arjuna Wiwaha. Pikiran saya langsung melayang pada patung Arjuna yang sedang mengendarai kereta kuda yang ditarik delapan ekor kuda dengan begitu perkasa di bundaran ujung MH Thamrin yang berbatasan dengan Medan Merdeka Barat dan Medan Merdeka Selatan. Kalau yang dimaksud para penulis adalah patung yang sama, maka izinkan saya untuk mengoreksi sedikit (karena saya tidak tahu, mungkin memang ada patung Arjuna Wiwaha di tempat lain, soalnya seumur hidup saya cuma tinggal di kota ini saja). Setahu saya nama patung yang sempat dipugar tahun 2003 itu adalah Arjuna Wijaya, CMIIW. Dulu sempat hapal di luar kepala untuk menghadapi ujian kompetensi waktu di SMIP. Dan pas banget dapat bagian di Jalan Medan Merdeka Barat situ. Walaupun jadi blunder karena masih shock waktu tiba-tiba dipanggil. Hasilnya, gak lulus mata pelajaran ini. Eh, kok jadi curhat. :p

Pak uday, guru guiding saya, pernah bilang kalau orang-orang suka salah mengingat nama patung itu. Patung yang dimaksud mengambil salah satu episode dalam perang Bharatayudha ketika Arjuna disaisi Kresna (saya lebih suka Kresna daripada Krisna karena kesannya gimana gitu) hendak pergi berperang melawan Adipati Karna. Jadi inget komiknya RA Kosasih yang dulu diloakin, hiks. Kemenangan Arjuna dalam perang itu menginspirasi Nyoman Nuarta ketika membuat patung tersebut. Oleh karena itu, si pematung menamakannya Arjuna Wijaya (Kemenangan Arjuna), bukannya Arjuna Wiwaha seperti anggapan banyak orang. Nama Arjuna Wiwaha begitu melekat karena sudah diajarkan dalam pelajaran sejarah sejak di sekolah dasar. Untuk mengingatkan kembali, Arjuna Wiwaha adalah nama kitab karangan Mpu Kanwa yang menceritakan kisah Arjuna dalam mencari ilmu dan kesaktiannya. Yah, semoga bisa sedikit mencerahkan :)

Kembali ke isi buku, sebenarnya buku ini sarat sekali dengan suri teladan. Tidak ada hal yang tidak mungkin selama kita mau bekerja keras, begitulah kira-kira pesan yang saya tangkap dari buku ini. Buku ini juga membahas cara pandang generasi muda mengenai nasionalisme, bagaimana mereka (mungkin kita juga) menyikapinya. Pertentangan batin yang muncul ketika berhasil menyelesaikan studi di luar negeri, apakah akan kembali di Indonesia atau tetap tinggal dan bekerja di tanah orang. Saya tergugah oleh kepolosan Daus, bukan karena sesama suku dan dekat domisilinya lho, tapi karena dia berani mengambil sikap bahwa untuk memperbaiki sistem yang rusak kita harus masuk ke dalam sistem.

Saya juga menganggap buku ini cukup berani dengan mengangkat isu korupsi yang begitu mendarah daging di negeri ini. Wicak, sang aktivis lingkungan hidup, melihat bagaimana hutan di bumi Kalimantan menghidupi orang-orang tidak berpunya yang bekerja sebagai pembalak yang dimanfaatkan oleh para cukong kayu. Siapa yang harus disalahkan? Menurut saya bukan itu pertanyaannya, melainkan siapa yang berani memperbaiki kesalahan itu. Karena saling tuding tidak akan menyelesaikan masalah, ya kan?

Buku ini juga mengajak saya bernostalgia dengan masa kecil yang cuma bisa nonton TVRI, sebelum muncul RCTI & SCTV awal tahun 1990, Enid Blyton, dan berbagai hal remeh-temeh khas dekade 1990-an.

View all my reviews >>

Jumat, 30 April 2010

Bookswap Akbar Goodreads Indonesia @ World Book Day 2010

Hari Minggu, 25 April yang lalu, saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengikuti Bookswap Akbar yang diadakan GRI di acara World Book Day 2010. Acara tersebut bertempat di Pasar Festival Kuningan, Jakarta Selatan. Udah lama banget gak pernah maen ke sana.

Acara dimulai pukul tiga sore. Kawan-kawan GRI sudah berkumpul. Kabarnya ada dua ratus ribu buku yang dapat diswap pada hari itu. Saya sendiri cuma menyiapkan lima buku untuk diswap, abis berat lagian harus bawa Alpha.

Setelah acara perkenalan apa itu GRI, maka dimulailah pembacaan tata cara peraturan swap. Setelah buku yang hendak disiapkan sudah beres peserta berdiri mengelilingi meja untuk memulai. On your mark... get set... go... Swap berlangsung beberapa putaran, sampai kegerahan... hihihi...

Ini foto-foto selama swap.



Selasa, 09 Maret 2010

Pertama Part II

Minggu, 7 Maret kemarin, pertama kalinya saya merasa berat sekali datang ke bookfair. Soalnya punya kewajiban jadi mata-mata, sih... yah, namanya juga karyawan harus patuh pada perintah yang menggaji bukan? Jalani sajalah... (meskipun gak enjoy)
 

Setelah menunaikan kewajiban, saatnya menyelesaikan urusan yang tertunda. Urusan pertama, koreksi proofread. Done. Urusan kedua, makan siang. Done. Me and my friend, the littlegurl, went to KFC at Blok M  Mall. Kirain salah jalan waktu turun tangga ke bawah, habis banyak banget SPG Ramayana yang lagi ngegelar bekel makan siang di sepanjang koridor. Eh, gak salah nih? Coba bawa alpha, lucu juga kayaknya kalo dipoto.

Next business, picking up my prize. Yeah, it's the writing competition prize that I won from Times Bookstore. Udah kebayang, mo beli buku apa aja pake voucher hadiah. Disambut ramah meski agak lambat. Foto dadakan permintaan dari manajemen Times. Gak sabar mo bongkar isi tentengannya. Ready? Get set... Go!!! 

The major prize is the feature-story writing session from Antara, which will be held starting from April 10 to June 12. And thank God, its every Saturday, from 9.00-12.30. What a relief....

Tapi... there always a but... udah dibongkar-bongkar vouchernya gak ada... hiks... maaf ya littlegurl, can't buy you anybook today.... adanya cuma privilege member card, which give me 10% discount on every Times in Indonesia, Singapore, and Malaysia... Oh, well... shouldn't be ungrateful girl... 

With this, I hope to soar up higher than before... Wish me luck.

Btw, this is the writing that won the prize. Please enjoy...


***

Romance Dawn

Bali is Island of the God, living at its finest, a perfect blend of relaxing informality and memorable taste on the life. With a reputation as being one of the most beautiful and diverse spots in Asia, Bali attracts almost 2.700.000 visitors a year, from all around the world. On the contrary with its famous, Bali is a small island, stretching approximately 140 km from east to west and 80 km from north to south. Slightly off center, and running east to west, is a string of volcanic mountains. The tallest and the holiest is Gunung Agung, with the height 3,142 meters above the sea level.

The wide and gently sloping south regions play host to Bali’s famed rice terraces, among some of the most spectacular in the world. In the hilly, northern coastal regions, the main produce is coffee, copra, spices, vegetables, cattle and rice. The Balinese people have strong spiritual roots and despite the large influx of tourist over the years, their culture is still very much alive. The main religion is Agama Hindu Dharma, which arrived in Bali with the spread of Hinduism through Sumatra and Java during The 11th century. Although originally from India, the Balinese religion is a unique blend of Hindu, Buddhist, Javanese and ancient indigenous beliefs, with custom that are very different from the traditional form of Hinduism practiced in India today. With the arrival of Islam in neighboring Java during the 15th century, a large number of courtiers, artists, musicians, and craftsmen fled to Bali, creating an artistic renaissance.

The main tourist area is Kuta, situated near the airport. These small sleepy villages become a major attraction during the tourist boom of the 70’s, because of its famed white-sand beaches, the surf and stunning sunsets. Today, Kuta is a major hustling resort town, with hundreds of hotel, bars, restaurants and shops. Those in search of a little peace and quite tend to head for the more sedate resorts of Sanur and Candi Dasa, on the east coast, or Lovina in the north. Nusa Dua and other tourist enclave on the southern most peninsula of the island caters for the more up market crowd and is home to almost all of the bigger 5-star hotels. The central village of Ubud, in the hilly region of Gianyar, has also blossomed as a tourist attraction and is now considered to be the artistic and cultural center of Bali Culture.

In the year 2002, Bali was shocked by the bombing of its most crowded area, Kuta. The blast destroyed the Sari Club and the resulting fire then engulfed a neighboring bar, Paddy's Irish Club. A total of 202 people were killed in the tragedy, and further 209 people were injured. The story broadcasted in national TV showing continuous footage from Saturday night's explosions, accompanied by mournful music. It was the worst act of terrorism since the 11 September attacks in United States of America. Many people simply cannot believe that anything of such a nature could have happened there. And now the government of the world's most populous Muslim nation has armed itself with new powers to tackle terrorism. The incident also made a major impact to the lives of the people of Bali. Many countries issued travel warning to Indonesia. The amount of tourists traveling to Bali, which is the life for the people of Bali, decreased rapidly, forcing many local businesses to shut down.

The incident was the reason I was able to visited Bali once again. My first visitation to the island was when I am a sophomore in high school. It was on a study tour, because I study at a vocational school of hospitality business. We’re supposed to learn and practicing how to guide our entourage along the way. It took a while to get to there, though it’s weren’t our final destination but we were so eager to get there. By that time our head only filled with long sandy beaches, warm blue water, gentle seas, crashing surf and shopping paradise. Well, that’s the great part being a youth, always looking at the bright side.

I remembered I had to guide my classmates during the daytrip to Bedugul region. I explained a story about The Ulun Danu Temple in Lake Bratan. This temple would be surrounded by water if the lake volume increasing. My task continued till we arrived at Tanah Lot. Tanah Lot is true with fascination. This tourist object integrates sunset moment that very beautiful with spiritual tourism marked by Tanah Lot Temple. The temple often related with Dyang Nirartha, a holy priest from 15th century, whom believed had build the temple on a large offshore rock before leaving for heaven. Legend said at the base of the rocky island, poisonous sea snakes are believed to guard the temple from evil spirits and intruders, which was created from Dyang Nirartha’s scarf when he established the island. Too bad, we didn’t stay long enough to watch the sun setting that day.

The next day, our company destinations were the countryside of Ubud, Desa Mas and Batubulan. Ubud is the art center of Bali and famous for its artists and paintings. We visited some of the art gallery in order to learn a bit of its trade nature. And it was my first time stepping onto a gallery. It felt a little awkward to look at the nudity exposed in most of the paintings for the first time but its back to normal gradually. Then we pay a visited to Desa Mas or Mas Village which is known for its famous reputation of wood carving. This village has a distinctive style of carving wood sculptures. The last place of our sightseeing for the day was Batubulan village. Batubulan is specializing its art on stone carving like the statue of Buddha, Ganesha, and also a modern motive. But that wasn’t the only thing that made this village famous. It’s Barong and Kecak dances! Unfortunately, we should be satisfied to be entertained with Kecak dance, because Barong dance only performed in morning. It was fabulous performance, though. The dancers were full of spirit when they perform it. Their also cried “cak-cak” so loud that made our heart beat faster. When I thinking about it, there is one thing I really like about the atmosphere. It was dark for 7 pm and there were only torchlight to illuminate the dance floor. It’s quite romantic somehow. That was a story I still remember today.

My second visitation is related with the 2002 incident like I said earlier. The bombing was a terrible shock for everyone. Indonesian was mourning. We condemn the act of terrorism and would fight against it. Student from all around the archipelago were united to make a cause. I was a junior in university by that time. I also quite active at the extra university group such as Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesia Muslim Student Movement-PMII). My senior in college who is also the former chairman of the movement, Nusron Wahid, invited our subdivision to participate in a student assembly held in Bali on December 2002.

Our subdivision sent three delegates including myself. Well, actually I was a stowaway, because the invitation only applicable for two delegations from every student union. Our counselor said its okay, because the third person was significant when it come to make important decisions. I didn’t have a knack in the politic but I rather delighted to have a chance meeting others from different part of organizations.

The assembly held from 28-31 December 2002. We traveled by overland and leave the capital city two days before the convention started. All of student delegation from Jakarta and the vicinity were gathered at the Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Indonesian Catholic Student Association-PMKRI) headquarter in Salemba Raya. There were two buses to take us all.

Eight student organizations conjugated to the assembly. They were PMII, PMKRI, Himpunan Mahasiswa Islam (Islamic Association of University Student-HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Indonesia National Student Movement-GMNI), Komite Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (Indonesian Hindu Dharma Student Committee-KMHDI), Ikatan Mahasiswa Muhamdiyah (Muhammadiyah College Student-IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (Indonesia Christian Student Movement-GMKI) dan Himpunan Kerukunan Mahasiswa Buddha Indonesia (Indonesia Buddhist Student Communion-Hikmahbudhi).

They joined together to form Indonesia Student Assembly (ISA). The assembly was held due to reform, which is now not only distorted and stagnant, but also has co-opted by the interests of political elites. ISA held discussions and seminars in order to find what the right formula to apply in Indonesia. ISA consider it necessary to recover what this nation had owned through a seminar titled Reinventing Indonesia. The forum was the first time all the components of students gathered after they rolled past reforms in 1998. This event was also attended by 73 representatives of the Executive Board of Student (BEM).

There were at least four important things that be the main topic of discussions, namely economic, political, social, cultural, defense and security. The results of the seminar will be formulated to serve as input to the government in running the next government. The stadium generale attended with speakers such as Susilo Bambang Yudhoyono (former Coordinating Minister for Politics and Security), Rokhmin Dahuri (former Minister of Maritime Affairs and Fisheries), Jacob Nuwa Wea (former Minister of Manpower and Transmigration), Bachtiar Chamsyah (former Minister of Social Affairs). There also present political observer Kusnanto Anggoro, women activits Nursjahbani Katjasungkana and Chusnul Mar'iyah, human rights observer Anak Agung Banyu Perwita, religious observer I Made Titib, and humanist Darmanto Jatman.

ISA has produced an action plan which was approved by each commission meeting. The commissions consisted of political, economic, social, cultural, defense and security, education, gender, decentralization, and the law commission. My subdivision leader told us to enter separate commission to broaden our point of view. I was delegated to join the gender commission meeting. During the meeting I was befriended with Paul. He’s a fine fellow whom I made acquaintance since our departure from Jakarta. He was a member of PMKRI. He’s from Trisakti University, 97 classes, majoring in architecture. I kind of like his open-mindedness and somehow he make me eager to talk to him.

The assembly closed with the commission leaders conveys their recommendation for the government. Then all the delegates were escorted to visit the ground zero at Kuta, to commemorate Bali bombing. We prayed that that would be the last act of terrorism ever occurs in our beloved homeland. Many people prayed together with us that night. A lot of bouquets placed in the center of the ground zero. I was surprised when a warm hand touched my shoulder and I just realized that I’ve been crying quietly throughout the prayer. It was Paul. He gave me a handkerchief to wipe my tears.

After the prayer we were given free time to celebrate the new years. All the people dissociated themselves from the ground zero and start to walk toward the beach. I’m looking for my friends but the crowd was so dense, I couldn’t find them. Paul takes me by the hand and we fled straight into the very heart of the crowd. I felt a bit relieved; at least I was with someone I known in the middle of strangers. We arrived at the shore just about midnight and lucky to catch a glimpse of fireworks that burning so bright. I shed a tear again because I remember my family across the island. I kind of miss them in the moment. We used to watch the fireworks and make wishes together. Paul teased me as a cry baby but I don’t mind though. Suddenly, out of the blue Paul kissed me gently in the forehead and said, “Happy New Year”. I wasn’t sure how to figure it out. Then I remember I replied him a happy new year. For timeless moment we remained lost in wonder. I was sure there was an awkward silence after that. I thought I was a bit too old to reacting that way. My mind was full with what ifs. I was certain I would regret if intimacy muddies the water of our relationship. I want to be his good friend for the time being. I know it’s not a romantic story you ever heard but I still experienced a strangely exhilarating thrill every time I recalled it. We stayed in our own thoughts till dawn arrived. The sun rises beautifully and pours her warmth to the soul. It’s was the most beautiful sunrise I ever saw. The silence broke when our friend caught us sitting next to each other and start to tease us both. Paul tried to respond casually like a grown man should be. I didn’t know, but I felt at loss at the moment. We get along so well until the journey ended. Unfortunately, we got separated and lost contact not long after we come back home. Now it’s a memory I would treasured every time I thought about the Island of God. 

***

Sabtu, 27 Februari 2010

Pertama Kali


Selalu ada saat pertama kali. Tapi tidak setiap hari kita mengalami hal pertama seperti itu. Jumat, 26 Februari, yang lalu saya melakukan dua hal yang pertama kali baru saya lakukan. Hal yang pertama, saya berhasil keluar dari sebuah pameran buku tanpa satu buku pun. Bayangkan! Biasanya, paling tidak saya akan membeli dua sampai tiga buku. Padahal, kemarin banyak buku bagus yang diskonnya lumayan. Saya memang berniat untuk tidak membeli buku karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena bulan ini saya sudah menghabiskan hampir tiga ratus ribu untuk membeli buku fiksi yang memang sudah lama saya inginkan. Kedua, saya memang belum gajian, dan saya bersyukur tidak mempunyai kartu kredit karena saya pasti tidak akan bisa menahan diri. Ya, satu-satunya yang saya tidak bisa kendalikan adalah keinginan untuk membeli buku.

Hal kedua yang pertama kali saya lakukan adalah melakukan walk-in-interview. Kedatangan saya dan teman memang dengan tujuan mengikuti seleksi untuk melamar sebagai editor yang diadakan oleh kelompok Kompas Gramedia. Ketika saya mengambil nomor urut, saya sebenarnya ragu-ragu. Tapi saya akhirnya memutuskan untuk mengambil juga. Dengan nomor urut 109 waktu wawancara 10.45-11.45 di Ruang Cempaka. Sempat ragu-ragu kembali ketika hendak masuk ruang interview. Namun akhirnya memberanikan diri masuk ke ruangan saat waktunya tiba. Yah, ternyata tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Dan wawancara itu hanya wawancara awal untuk menyaring pelamar. Jika lolos seleksi administrasi ini akan diundang untuk mengikuti tes selanjutnya. fuih... lebih lama waktu menunggu ketimbang waktu wawancara yang tidak sampai lima menit. Saya rasa saya tidak akan lolos, karena saya bilang saya lebih menyukai mengedit buku fiksi daripada non-fiksi, padahal jelas-jelas posisi yang dibutuhkan adalah editor buku referensi.... Not hoping too much anyway. Just trying my luck... hehehe...

Those are two first-thing I've done yesterday. Hmm... there are more a first-time things I would do in the future I guess... What about you? :)

Ini foto yang saya buat saat pertama kali menginjakkan kaki di stasiun gambir

Rabu, 17 Februari 2010

Akhir Januari


Minggu pagi akhir Januari. Walau lelah janji harus ditepati. Berangkat jam 11 pagi diantar si cakwe dengan uang suap tentunya. Banyak sekali hal yang ingin diceritakan pada sang sahabat mengenai perjalanan hari kemarin. Tapi itu harus menunggu. Tujuan hari ini: Pintu Air Manggarai. Sampai di tujuan pas lagi ada yang 'bekerja' di pintu air. Berusaha minta izin untuk ambil foto orang tersebut. Tapi ditolak. :(  


Tentu saja saya tidak rela pulang dengan percuma. Snap... snap... dapet juga... Si bapak sepertinya gondok berat sama kita berdua karena tidak lama sesudah itu dia berhenti melakukan pekerjaannya dan naik ke tepian di sisi seberang pintu air. Yah, baiklah mungkin salah kami juga... maaf ya, pak... 


Saat kembali menuju terminal Manggarai, terlihat sebuah frame. Nice spot! Meski mempertaruhkan badan terserempet mobil dan motor, dapet juga. Gak bagus sih tapi mungkin bisa dicoba lain kali.


Memutuskan untuk melanjutkan pencarian setelah sebelumnya makan siang di Atrium Senen. Next destination: Pasar Baru. Alasan: pernah lihat orang naik getek membersihkan kali tersebut. Tapi, mungkin hari itu memang bukan hari keberuntungan kami. Tak tampak yang kami cari. Hari pun sore sudah. Kami mencukupkan untuk mengakhiri perjalanan dan kembali pulang....


3rd Showdown


Citywalk – Wiskul –Karaoke

Sabtu, 30 Januari 2010. Terbangun pukul 3 pagi. Cuci muka, sikat gigi, trus nyiapin barang-barang yang mau dibawa pergi. Rencananya hari itu mau pergi ke Bandung. Ikutan acaranya klub karaoke GRI. Padahal belom gajian, karena alasan yang bikin males sedunia, yaitu gak punya ATM BCA. Kasihan, kan?  Yowislah. Ada niat ada jalan :D

Karena gak bisa tidur lagi terpaksa nyalain kompi, buka internet browsing bentar. Ngecek recent update manga. Gak terasa udah subuh. Buru-buru mandi. Cuma sempat minum segelas Milo trus langsung cabut. Untung si cakwe mau nganterin. Ga enak kalo telat, soalnya janjian jam 6 di Kp. Rambutan.

Walhasil jadi yang pertama nyampe di tempat janjian. Sms mrs. squid, katanya masih di jalan. Gak sadar abis sms, pulsa tinggal dua ratus perak. Menyusuri kios-kios sepanjang terminal, cari yang jualan pulsa. Ketemu satu yang udah buka, tapi harganya lebih mahal seribu dibanding di tempat biasa beli. Mau gak mau dibeli juga. Abis itu balik lagi ke halte busway. Nunggu sambil baca Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Garuk-garuk kepala, mikir di mana kisah cintanya? Matahari mulai menanjak langit timur. Wah, indahnya. Ngetes alpha dulu ah. Jepret-jepret. Hmm… mayan…

Gak lama mrs. Squid telepon katanya dah nyampe bareng geng depok. Mereka lagi sarapan di gedung oranye. Hah, oranye? Di mana? Celingukan kayak orang bodoh. Gak taunya gedung yang dimaksud gedung yang di tengah terminal. Bodohnya daku… :D

Ikutan sarapan soto ayam sembari nunggu empat orang lagi yang belum datang. Akhirnya pasukan kumplit jam 7an. Langsung cabut. Nyetop bus ke Bandung dari luar terminal. Sibuk ngegeusah calo-calo yang bawelnya minta ampun. Lima belas menit kemudian (kira-kira) udah duduk manis di dalam bus. Karena pengen duduk di sisi jendela, milih bangku yang rada ke belakang. Perlahan bus mulai meninggalkan terminal. Tapi… tiba-tiba tuh bus bukannya masuk tol cikunir eh malah putar balik ke pasar rebo lagi (untuk yang kedua kalinya). Oh, MY GOD!!! Kapan nyampenya nih… padahal udah jam delapan.

Sayangnya lupa nama busnya. Mau nyaranin lain kali jangan naik bus itu lagi. Lebih ngeselin lagi bus-nya lambreta lamborgini bo! Nyesek dilewatin minibus travel-travel yang melesat cepat. Harga memang beda sih… jadi terima sajalah… nyampe Pasir Koja berhasil namatin si Pak Tua. Sedih deh ceritanya dan untuk sementara berhasil melupakan kekesalan.…

Nyampe Leuwi Panjang kebelet pips, toiletnya antri. Kecil pula. Halah. Pas kluar toilet ada bapak2 teriak buruan2. Gak taunya yang laen udah masuk mobil smua. Baru nyadar kalo di bangku tengah tuh udah ada empat orang. Lima sama gue… hahaha… dasar kuyus semuanya …

Dari Leuwi Panjang nyarter mobil ke Gedung Asia Afrika. Ketemuan sama sebagian anak-anak GRI yang bersedia nungguin kita. Sebagian yang udah kumpul jalan duluan ke Kopi Aroma. Abis kenalan foto-foto dulu di KM o (Nol) Bandung. Trus jalan menuju Kopi Aroma melewati jajaran tukang buku bekas di Cikapundung dan penjara Banceuy. Sayang gak sempat ke tempat bersejarah itu, soalnya yang punya Kopi Aroma dah mau pergi jadi kudu buru-buru deh.

Paberik Kopi Aroma udah berdiri sejak tahun 1936. Lebih tua dari nyokap dan bokap :p dan tulisannya masih pake ‘e’ (paberik). Di sini dijelasin mana kopi yang bagus untuk perempuan dan untuk laki-laki. Katanya sih kal perempuan baiknya minum arabica karena mampu meningkatkan kinerja otak. Kalo laki-laki yang butuh stamina bagusnya minum robusta. Itu kalo ga salah denger, ya… hehehe… karena gue ga minum kopi jadi gak terlalu peduli… (tapi kopi emang memicu adrenalin kan?) :p

Gue pikir di pabrik kopi bakalan bau kopi, ternyata gak tuh. Yang wangi cuma kopi yang abis dipanggang dan digiling doang. Biji kopi mentah gada baunya acan-acan. Apa hidung gue yang tumpul ya? Tapi suasana di dalam Paberik keren banget. Sayang gue masih belom bisa ngambil foto bagus di dark room, kudu pake tripod kayaknya… (satu lagi must have taon ini).
 
 

Abis ntu makan mie kocok Bandung. Lupa nama jalannya tapi katanya sih terkenal banget. Rusuh deh di sini. Oia, sempat makan bareng Mba Femmy, yang diriin GRI loh… tapi beliau pendiam sekali… mungkin karena belom kenal sama kita… hehehe…

Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Gedung Indonesia Menggugat, tempat Soekarno membacakan pledoi-nya waktu disidang sama Belanda. Gue gak dapet kesan bersejarahnya dari rumah ini. Gak bisa berimajinasi. Trus perjalanan dilanjutkan ke Gedung Sate. Di sana Ibutio sudah menunggu. Pengalaman pertama naik ke puncak gedung sate. Tangganya ampyun deh… sempit dan banyak banget. Walhasil, pas nyampe di atas ngos-ngosan. Untung ada angin semilir yang adem buener. Tahu ga? Ternyata gedung sate, tuh, dalam satu garis lurus dengan Gasibu, Monumen Pahlawan, sama Gunung Tangkuban Perahu. Norak, yak, gue? Biarin… puas poto-poto dilanjutkan anjang sana anjang sini… dan gak lupa ada bookswap… gw dapet faking it (chicklit) sama blakanis… dan merelakan killing her softly sama the constant gardener.

Dari situ langsung menuju ke Dago, menuju puncak acara: The 3rd showdown klub karaoke GRI. Sebagian menghilang, ada yang sholat, ada yang mampir dulu, ada yang makan. Sebagian langsung menuju ruangan yang sudah dipesan. Seru banget. Apalagi waktu duetnya Kang Imam sama Lukman nyanyiin Linkin Park yang Numb, berasa gempa… piss kang… (sayang gue belom bisa juga ngambil foto bergerak cepat, sebel…)

Sayang, esoknya ada janji jadi harus pulang lebih dulu. Kali ini mencoba peruntungan pake jasa travel. And you know what? 70 rebu nyampe jakarta dalam waktu dua jam. Overall, it’s a nice trip. Wanna have some more…. encoreencore… (sok niruin bahasanya Annelise, bule Prancis, temennya Ditta).


Selasa, 26 Januari 2010

Negeri Lima Menara





Tanggal 10 Januari yang lalu, saya menyempatkan diri menghadiri acara bedah buku Negeri Lima Menara di TM Bookstore, Detos. Acara ini terselenggara berkat kerja sama dengan Goodreads Indonesia, loh… Baru tahu kalau acara ini acara perdananya klub buku GRI… (maaf ga up to date :P). Janjian sama teman hunting setia yang baru aja smoothing :D sempat ngotot sama petugas TM karena mau bawa masuk tasnya si Alpha. Karena tetap gak diizinin, akhirnya menyerah juga. Tas dititipkan di petugas. Ternyata acara tarik urat kembali terjadi… habisnya si mas yang di penitipan tas ga ngizinin bawa masuk buku yang nanti rencananya buat booksigning. Nyebelin banget sih… untung saya seorang pacifist, saya relakan tuh buku dititipin, katanya nanti petugas mereka yang akan mintain tanda tangannnya… okelah kalau begitu… 



Di tengah acara sempat keliling sebentar, mau cari buku yang dibutuhkan buat kerjaan. Trus balik lagi pas sesi tanya jawab. Karena sering panik, jadi terpaksa gonta-ganti mode si Alpha dari M ke S. Dasar amatiran... hehehe... banyakan yang nge-blur jadinya. Sering ketinggalan moment juga... gara2 panik itu... 



Abis tanya jawab ada book signing dilanjutkan acara perkenalan buat anggota GRI. Ketemu banyak orang baru... beberapa di antaranya penulis yang baru saja menerbitkan bukunya. Ada Tyas Palar yang baru aja nerbitin The Death To Come (Etera Imania, 2009), trus ada RD Villam yang nulis Akkadia (Adhika Pustaka, 2009), sama Bonmedo Tambunan yang nulis Xar & Vichattan : Takhta Cahaya (Adhika Pustaka, 2009). 




Ketemu juga sama Mba Truly, agen bukunya GRI, yang udah baik hati membawakan buku pesanan saya, Kemamang-nya Koen Setyawan yang udah dibaca bareng GRI... trus dibolehin ngutang Akkadia lagi... Mba Truly makasiii....  :D 





Akhirnya kenalan juga sama Mba Lita Suryadinata yang ngasih buku N5M ini lewat Eve Bookclub. cuma sayang waktu diskusi buku itu di Cikini gak sempat dateng karena sakit... hiks... Trus lagi kenalan sama Mba Palsay, yang ngenalin saya sama Pearl Jam Id... she’s a real jamily... 



Terakhir acara foto bareng sama sang pengarang dong, Ahmad Fuadi. Emang dasar yak, anak GRI narsisis semua. Liat aja gayanya tuh... :D  Salam buku!!!










share it