Paralayang adalah salah satu cabang olahraga terbang bebas yang baru diresmikan sekitar awal tahun 1990-an di Indonesia. Berbeda dengan gantole yang menggunakan perangkat terbang berbentuk segitiga, paralayang menggunakan parasut. Paralayang biasanya menggunakan bukit atau gunung sebagai landasan pacu.
Erwin dan kawan-kawannya berangkat Minggu pagi pukul delapan dari Jakarta, namun karena kawasan puncak termasuk daerah rawan macet di akhir pekan, mereka baru tiba di tempat tujuan sekitar pukul sebelas siang. Waktu yang tepat sebenarnya, karena pada saat itulah biasanya angin bertiup cukup kencang.
Banyak lokasi yang menyediakan tempat untuk mencoba olahraga ini di sekitar daerah Jawa Barat. Erwin dan kawan-kawannya memilih Bukit Gantole dengan alasan lokasinya yang dekat dan mudah dicapai. Bukit Gantole, yang nama sebenarnya adalah Bukit Paralayang, tidak begitu sulit untuk dicapai. Letaknya sekitar 100 meter dari Masjid Raya At-Taawun, Puncak Bogor. Bagi yang ingin mendapatkan sedikit informasi tentang olahraga paralayang ini, bisa mampir dulu di sekretariat Persatuan Olahraga Dirgantara Layang Gantung Indonesia (PLGI) yang bernaung di bawah Federasi Aero Sport Indonesia (FASI).
Dari sekretariat tinggal berjalan sejauh 20 meter lagi menuju tempat lepas landas. Suasana di landasan hari itu cukup ramai. Beberapa orang sedang menunggu angin untuk membawa mereka terbang. Dibutuhkan banyak kesabaran menunggu sampai waktunya tiba untuk lepas landas, karena olahraga ini hanya mengandalkan angin untuk membawa penerbang terbang tinggi dan mencapai jarak yang jauh.
Olahraga ini bisa diikuti oleh siapa pun yang berusia minimal 14 tahun dan maksimal 60 tahun. Untuk peminat yang berumur kurang dari 18 tahun harus mendapat izin dari orangtuanya sebelum bisa terbang. Terbang tandem bisa mengangkut penumpang dengan beban mulai dari 25-95 kg. Setelah mendaftar mereka akan diminta untuk menandatangani waiver, semacam formulir yang menyatakan kalau mereka siap menerima segala konsekuensi sebagai penumpang tandem.
Sebelum terbang, para penerbang harus mengenakan perangkat paralayang berupa parasut, helm, dan flight suit (baju terbang). Flight suit ini berfungsi sebagai tempat duduk saat melayang di udara, sehingga penerbang bisa bebas memotret pemandangan dari atas.
Bagi yang baru pertama kali terbang akan menjadi penumpang tandem. Maklum, olahraga ini termasuk berbahaya apabila tidak didampingi oleh orang yang berpengalaman. Penerbang didampingi seorang pilot, sebutan untuk tandem master yang bertugas sebagai instruktur. Pilot akan memandu mulai dari tinggal landas, selama penerbangan, sampai pendaratan. Kebetulan pilot yang membawa Erwin adalah Opa David, yang merupakan salah satu pelopor olahraga ‘terjun gunung’ yang kemudian dikenal sebagai paralayang ini di Indonesia. Opa David yang sudah berumur 53 tahun sudah mengantungi sertifikasi tandem master level 7, level tertinggi dalam cabang olahraga paralayang. Bersama rekan-rekan PLGI, Opa David sedang sibuk mempersiapkan fasilitas di Bukit Gantole untuk dipergunakan dalam SEA GAMES XXVI 2011.
Saat cuaca dan angin dirasa sudah mencukupi, aba-aba diberikan kepada penerbang. Namun sebelum itu, penerbang harus berlari ke ramp yang berbatasan dengan perkebunan teh. Dan wuush... parasut pun terbentang membawa sang penerbang.
Untuk sesaat rasanya seperti menjadi bukan manusia, ungkap Erwin. Paralayang jauh lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan parasailing yang juga pernah dicobanya. Paralayang membawanya terbang bebas mengangkasa laksana burung. Langit biru, hamparan petak-petak rumah, pucuk-pucuk cemara, dan hijaunya barisan pegunungan adalah kenikmatan lain yang bisa didapat saat terbang.
Tak terasa 10-15 menit telah berlalu, akhirnya terlihat landing area di sebuah lapangan bola di Lereng Gunung Mas. Pilot memberi aba-aba untuk mendarat. Dibantu oleh ground crew, yang terdiri dari anak-anak usia sekolah SD dan SMP, Erwin dan pilotnya membereskan perlengkapan terbang mereka. Dari sana, mereka kembali ke bukit paralayang dengan menggunakan angkot yang sudah disewa oleh asosiasi. Sampai di Bukit Gantole, sang pilot pun segera bersiap-siap kembali terbang tandem dengan teman-teman Erwin yang lain.
Demi menikmati olahraga paralayang ini, Erwin tidak segan-segan merogoh koceknya dan mengeluarkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk sekali terbang. Memang relatif mahal, tapi sebanding dengan faktor keamanan dan ongkos sewa peralatan serta pengalaman seorang tandem master.
“Pengalamannya tidak ada duanya,” ujar Erwin, lelaki penyuka extreme sport yang bekerja sebagai humas sebuah perusahaan pertambangan ini. Ia bahkan mempertimbangkan untuk mengikuti kursus penerbangan paralayang.
PS. Dibuat untuk tugas pelatihan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar