Selasa, 29 Juni 2010

Jalan Layang Penuh Rezeki

Ada gula ada semut, barangkali adalah pepatah yang tepat untuk menggambarkan para pedagang yang mangkal di flyover di atas Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur. “Habis banyak orang yang berhenti di pinggir pagar,” ungkap Bang Jalu, seorang pedagang batagor, yang turut berjualan di jalan layang di atas lampu merah Pasar Rebo itu.

Awalnya dulu Bang Jalu berdagang keliling kampung di sekitar daerah Gudang Air, Pasar Rebo. Hingga pada suatu sore sepulangnya berdagang, ia melintasi perempatan tersebut dan dari bawah melihat ramainya orang berhenti di pinggir dekat pagar pembatas jalan layang. Saat itu sudah ada beberapa pedagang minuman dan buah-buahan yang berjualan, kenangnya. Ia kemudian mencoba peruntungannya di tempat itu sejak tahun 2007.

Tiga tahun berlalu, sekarang ia sudah punya beberapa kenalan yang kini jadi pelanggan tetapnya. Pelanggannya adalah para komuter pengendara motor yang baru pulang kantor. Mereka terkadang berhenti sejenak untuk melepaskan lelah atau sekadar menunggu berkurangnya kemacetan lalu lintas yang menjadi pemandangan sehari-hari terutama di jam-jam pulang kerja. Ada pula para remaja yang menikmati indahnya pemandangan kala senja dari atas jalan layang. Kadang ada juga keluarga yang bersantai di sepanjang jalan layang pada minggu sore.

Bang Jalu dan para pedagang lainnya, biasanya baru mulai berdagang pada pukul setengah lima sore. Karena saat itu matahari sudah tidak terlalu terik, dan waktunya bertepatan dengan jam pulang kantor. Sepanjang pagi, Bang Jalu pergi berbelanja bahan-bahan kebutuhan untuk membuat batagor. Tugas membuat bumbu dan batagor itu sendiri diserahkan kepada dua orang saudara yang ikut tinggal bersamanya di rumah kontrakan yang terletak di Gang Makmur, tak jauh dari jalan layang. Sementara itu, ia sendiri bertugas memasak makanan dan lauk-pauk sehari-hari, untuk menghemat pengeluaran, katanya.

Menjelang siang, kedua saudaranya berdagang keliling menggantikan dirinya yang kini tak lagi berkeliling. Bang Jalu sendiri bersiap-siap berangkat ke jalan layang. Menurutnya, berdagang di tempat itu, lumayan menguntungkan dibanding berkeliling, meskipun ia berpendapat rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Pria kelahiran Sumedang ini sudah merantau ke Jakarta sejak lulus SMP. Ia ikut menumpang di rumah pamannya kala itu. Ia sempat berputus asa karena tidak kunjung mendapat pekerjaan. Pernah ia menangis menghadapi kenyataan bahwa kehidupan di ibukota tak seindah bayangannya. Pada tahun 1996, ia ditawari untuk bekerja di sebuah tailor. Dengan pendapatan yang lumayan, ia bahkan bisa memacari seorang gadis di sekitar tempat tinggalnya. Namun apa daya, krisis moneter menyebabkan usaha tailor majikannya bangkrut. Pekerjaan hilang, pacar pun pergi, kenangnya sambil tertawa pahit. Dengan modal yang tersisa, Bang Jalu mulai merintis usaha berdagang batagor keliling.

Dari keuntungannya berdagang di jalan layang, ia berhasil mempersunting seorang gadis di kampung halamannya. Kini, bapak satu anak itu, semakin giat bekerja demi anak dan istri. Ia pun tak malu mengakui apa pekerjaannya di Jakarta. Sejak kecil ia diajarkan untuk selalu menghargai kejujuran di atas segalanya.

Di tengah persaingan antarpedagang di jalan layang, Bang Jalu masih bisa menyisihkan sepuluh ribu hingga lima belas ribu rupiah per hari untuk dikirimkan kepada istrinya di kampung. Biasanya sepuluh hari sekali, ia menitipkan uang tersebut kepada teman-temannya yang pulang kampung. Ia sendiri memilih untuk pulang kampung sebulan sekali.

Namun, sejak dimulainya perhelatan piala dunia, diakuinya kalau pendapatannya agak menurun. Banyak pelanggannya memilih pulang lebih cepat agar bisa menonton pertandingan di televisi yang disiarkan secara langsung. Pendapatannya juga agak berkurang pada hari minggu dan hari libur lainnya. Kalau sudah begitu, biasanya Bang Jalu hanya bisa pasrah, toh rezeki takkan lari ke mana. Seperti halnya jodoh, selorohnya. Tiba-tiba Bang Jalu teringat sebuah kejadian lucu. Katanya suatu hari pernah ada dua pasangan hendak mudik ke Cianjur naik motor. Mereka beristirahat sejenak di jalan layang kemudian memesan dua porsi batagor. Setelah selesai, mereka berencana melanjutkan perjalanan kembali. Sang pria menstarter motor dan kemudian melajukan motornya. Entah karena sedang banyak pikiran atau apa, si pria ini tidak menyadari kalau pasangannya belum membonceng di belakangnya. Kontan si perempuan berteriak-teriak dibantu Bang Jalu dan orang-orang yang sedang bersantai. Tapi si pria rupanya tak mendengar teriakan memanggilnya. Si perempuan panik dan hampir menangis. Bang Jalu menyarankan supaya si perempuan itu menelepon pasangannya, tapi ternyata pasangannya itu tidak membawa ponsel. Jadilah Bang Jalu memaksa seorang pengendara motor untuk mengantarkan si perempuan untuk mengejar. Mungkin masih terkejar, karena tidak jauh dari jalan layang terdapat lampu merah Cijantung.

Meskipun terlihat kesal orang yang dimintai tolong bersedia membantu, kenang Bang Jalu. Tak lama kemudian, si pria itu memutar balik dan menanyakan di mana pasangannya tadi. Bang Jalu mengatakan kalau si perempuan tadi membonceng orang untuk mengejarnya. Karena merasa bersalah, padahal niatnya ingin membantu, Bang Jalu pun akhirnya meminjamkan ponselnya agar si lelaki bisa menghubungi pasangannya. Dan akhirnya si perempuan menunggu di halte dekat lampu merah Cijantung. Pasangannya sangat berterima kasih pada Bang Jalu dan segera melaju pergi.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, pasangan itu kembali mendatangi Bang Jalu dan membawakan buah tangan sebagai tanda terima kasih atas pertolongannya waktu itu. “Tuh, kan, kalo rezeki mah nggak ke mana,” ujar Bang Jalu mengakhiri ceritanya. 

Pernah juga suatu ketika para pedagang dan orang-orang yang menepi ‘diusir’ karena jalan layang akan digunakan untuk syuting film. Yah, apa boleh buat, terpaksa Bang Jalu dan kawan-kawan menyingkir sebab syuting tak pernah berjalan sebentar. Tidak ada kompensasi, padahal dagangan belum habis. Obrolan singkat bersama Bang Jalu di jalan layang terpaksa disudahi karena hari juga sudah beranjak malam. Tapi Bang Jalu tak hendak pulang segera, paling tidak sampai dagangannya laris. 

share it